√ Kuliah di Keguruan tapi Tidak Mau Jadi Guru, Maunya Jadi Apa - It's Me Desi Murniati
Copyright © oleh Desi Murniati - All Rights Reserved. Powered by Blogger.

Thursday, December 5, 2019

Kuliah di Keguruan tapi Tidak Mau Jadi Guru, Maunya Jadi Apa


sumber: https://www.brilio.net/musik/6-fakta-lagu-guruku-tersayang-jadi-lagu-wajib-di-hari-guru-181126a.html
Sejak piyik – tepatnya SD, ketika ditanya cita-citanya apa, saya tidak pernah menjawab menjadi guru. Camkan itu TIDAK PERNAH. Saya tidak pernah membayangkan akan memiliki pekerjaan yang mengharuskan saya berpakaian rapi mengajar anak-anak yang seberapa nakalnya harus saya ajar dengan penuh kesabaran. Saya harus menjelaskan kepada mereka sampai mereka mengerti dan saya harus bisa ‘digugu dan ditiru’ sesuai dengan makna dari guru itu sendiri. Harusnya gampang ya? Iya, bagi yang emang menyukai bidang tersebut. Tapi bagi saya yang lebih suka hidup ala kadarnya tanpa meribetkan harus jadi rapi atau baik, itu berat.
Lalu perihal saya yang pada akhirnya masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, pada saat itu saya hanya memiliki pilihan menjadi TKW atau kuliah dan Alhamdulillah saya diterima di PTN dengan program studi pilihan terakhir yaitu Pendidikan Sejarah. Pada saat pengumuman SBMPTN saya kecewa. Bayangkan, saya yang seumur hidup tidak pernah ingin jadi guru malah masuk FKIP. Tapi sekali lagi, saya hanya memiliki dua pilihan: menjadi TKW atau kuliah di FKIP dan saya memilih kuliah di FKIP karena ada beasiswa Bidikmisi. Saat itu saya berkata pada diri sendiri untuk menenangkan, “sekarang banyak kok yang kerja tapi nggak sesuai jurusan. Toh kuliah itu bukan cuma buat mendapatkan ijazah, tapi buat mengubah pola pikir.” Saat itu saya bilang gitu dan berlanjut sampai semester-semester awal, tapi ketika menjelang lulus, semua tidak semudah itu, Ferguso!
Setidaknya jika seorang mahasiswa keguruan ingin bekerja di luar jurusan keguruan, ia harus memiliki nilai lebih dibandingkan mereka yang emang kuliah sesuai bidangnya dan harus ada bukti dari nilai lebih tersebut. Jangan naïf deh, ketika bilang ‘saya tetap bisa melamar di pekerjaan untuk semua jurusan’ tapi tidak punya nilai lebih, pasti akan kalah sama yang jurusannya sesuai. Perusahaan nggak mau rugi merekrut karyawan yang salah. Meski katanya sekarang banyak yang kerja nggak sesuai dengan jurusan, tetap saja harus menyertakan ijazah dan CV ketika melamar pekerjaan. Sebelum bertemu langsung dengan pelamar, perusahaan pasti akan melihat ijazah dan CV terlebih dahulu dan itu yang jadi pertimbangan pertama mereka. Kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan dengan orang dalam di dalamnya. Udah tenang aja, pasti diterima.
Sampai saat ini saya dan teman-teman saya yang tidak mau jadi guru tapi terjebak di fakultas keguruan masih bingung menjelaskan alasan tidak mau jadi guru. Baiklah, kami bisa menjelaskan perihal gaji guru yang subhanallah bikin ngelus dada, tapi jawaban itu kok ya terlalu matrealistis. Terakhir kali teman saya – yang ingin jadi guru – melamar di salah satu sekolah Islam terpadu dan ketika wawancara disebutkan gaji di sekolah tersebut adalah Rp 750.000/bulan. Teman saya seketika galau. Ukuran gaji segitu buat makan aja nggak cukup, belum lagi buat sewa tempat tinggal. Meski katanya cinta dengan pekerjaan guru, tetap saja harus realistis. Buat apa cinta kalo nggak bisa makan?
Saya sendiri tidak pernah menjawab perihal gaji guru yang miris ketika mendapat pertanyaan ‘kenapa saya tidak mau jadi guru’. Selain terdengar sangat realistis tapi matrealistis, para penanya tetap bisa berdalih dengan mengatakan ‘nanti kan lama-lama bisa diangkat jadi PNS’. Iya, tapi maksudnya sebelum diangkat jadi PNS harus berlapar-lapar dahulu, gitu? Jelas nggak gitu, Mas, Mbak!
Menjadi guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan dalam Islam, salah satu amalan yang tidak akan pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang diajarkan oleh seorang guru akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah guru tersebut meninggal. Dalam konteks tersebut, siapa sih yang nggak mau mendapatkan berkah dunia dan akhirat? Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika menjadi guru kamu bisa menjadi guru yang baik? Kita bisa melihat ketika kita sekolah dulu tidak semua guru menyenangkan. Banyak dari kita yang milih tidur saat diajar oleh beliau dan di belakang beliau, membicarakan serta mendoakan yang buruk-buruk seperti ‘semoga Bu A sakit dan tidak masuk ke kelas’ atau ‘semoga Bu A tidak mendapatkan angkot biar nggak masuk kelas’ dan bisa lebih parah lagi. Itu pernah saya lakukan saat sekolah dulu.
Saya tidak takut karma. Jika memang saya menyukai pekerjaan tersebut, saya akan mengambil risikonya. Tapi saya tidak menyukai pekerjaan tersebut dan saya takut akan mempengaruhi performa saya ketika melakukan pekerjaan tersebut. Saya nggak mau murid-murid saya benci dengan pelajaran Sejarah hanya karena memiliki guru yang bekerja karena terpaksa seperti saya. Mereka berhak mendapatkan guru yang kompeten. Mereka berhak mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan dan sulit menciptakannya jika guru bekerja tidak sepenuh hati.
Sedangkan untuk saya, sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi guru dan saya sudah melakukan banyak perbekalan. Salah satunya dengan sering melatih kemampuan menulis saya. Toh, menjadi penulis juga bisa jadi guru lewat tulisan-tulisannya. Guru nggak mesti harus mengajar. Lalu terhadap pertanyaan-pertanyaan ‘kenapa tidak mau jadi guru padahal kuliah di keguruan’ dan sejenisnya yang bikin lelah, jawab saja tidak semua pertanyaan memiliki jawaban.



Ada sebagian orang mengatakan kuliah tidak menentukan pekerjaan di masa depan. Ada sebagian lain yang mengatakan kerja itu harus sesuai dengan jurusan saat kuliah. Di antara dua pilihan sebagian orang tersebut, saya lebih sering menemui orang-orang yang berpikiran kuliah kudu sesuai dengan jurusan saat kuliah. Banyak mereka yang ketika bertanya pada saya, “nanti setelah lulus jadi guru ya?” Dan saya menjawab, “enggak. Saya mau kerja di penerbitan.” Lalu saat itu juga ekspresi mereka akan berubah sembari berkata, “lho kok gitu. Mbokan kalo kuliah di keguruan itu jadi guru.” Dan saya hanya tersenyum, males ribet menjelaskan alasan-alasan yang bagi saya yang hanya akan jadi pembelaan saya tidak mau jadi guru.

Get notifications from this blog