Dari Dongeng untuk Perdamaian
Eklin Amtor de Fretes. Sumber gambar: ilustrasi by Desi Murniati |
Masih tampak jelas di ingatan Eklin Amtor de Fretes peristiwa kerusuhan di Ambon yang terjadi pada tahun 1999. Hari-harinya saat itu dipenuhi dengan ketakutan. Bentrokan terjadi dimana-mana yang disebabkan oleh sentimen agama. Pembakaran rumah dan perusakan rumah ibadah juga mewarnai kerusuhan pada saat itu. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga banyak yang menjadi korban kerusuhan saat itu.
Saat itu Eklin batut bersyukur karena hidupnya aman dari kerusuhan karena ayahnya seorang tentara, namun ini tidak membuat Eklin tidak memiliki ikatan kuat dengan peristiwa tersebut. Ini karena ia tahu banyak teman-teman seumurannya yang terkena dampak dari peristiwa kerusuhan ini. Banyak dari teman-temannya yang harus mengalami trauma karena peristiwa ini.
Pada saat itu, Eklin merasakan ikatan yang kuat untuk melindungi satu sama lain. Eklin yang lahir dari keluarga Kristen Protestan, saat itu tinggal di tengah lingkungan beragama Islam. Ia teringat tetangganya sering menceritakan kisah-kisah perdamaian untuk menghiburnya. Ini adalah salah satu cara untuk saling menjaga satu sama lain.
Dari cara tetangganya ini, Eklin memiliki ketertarikan pada dunia dongeng dan mengabdikan diri untuk mendongeng untuk kedamaian. Dari dongeng ini, ia ingin menyebarkan toleransi kepada generasi muda di daerahnya dan juga di Indonesia.
“Latar belakang itu membuat saya merasa ‘Oh, saya harus belajar mendongeng dan dekat dengan anak-anak’. Karena kalau tidak, anak-anak ini nanti akan semakin parah tingkat intoleransi dan pemahamannya tentang keberagaman dan lain-lain. Kami di sini mudah tergesek hanya karena masalah-masalah kecil, persaudaraan lintas-iman kami bisa hancur,” katanya.
Membentuk Youth Interfaith Peace Camp
Untuk merealisasi ketertarikannya pada dunia dongeng, pada tahun 2017 Eklin memantapkan diri membentuk Youth Interfaith Peace Camp. Youth Interfaith Peace Camp didirikan menjadi wadah untuk berbagi nilai-nilai sekaligus menyebarkan pesan kedamaian dengan cara yang lebih kreatif dan dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 2021, Youth Interfaith Peace Camp telah diikuti lebih dari 90 pemuda di Maluku dari berbagai agama dari Islam, Kristen, Katolik, hingga kepercayaan dari Suku Nuaulu. Di forum ini, anggota juga bisa saling berdiskusi untuk menumbuhkan rasa toleransi antar sesama.
Kemudian pada tahun 2019, ia juga mendirikan program Belajar di Rumah Dongeng Damai sebagai salah satu media pendidikan toleransi dan perdamaian bagi anak-anak. Menurut pengakuan Eklin, meski peristiwa kerusuhan terjadi hampir 30 tahun lamanya, hingga saat ini masih sering terjadi segregasi wilayah di Maluku dan ini membuat orang tua sering kali menceritakan peristiwa kelam di tahun 1999 tersebut.
Eklin ingin melawan cerita-cerita konflik ini dengan dongeng. Meski ia awalnya tidak memiliki latar belakang dongeng, namun ia belajar tentang cara membawa segregasi dengan cara yang menyenangkan dan mudah diterima. Selain mendongeng tentang perdamaian, program Belajar di Rumah Dongeng juga mengajarkan anak-anak bahasa Inggris, Bahasa Jerman, dan kelas seni agar dongeng dapat disampaikan dalam berbagai bahasa.
Penolakan Terjadi Berkali-kali
Perjuangan Eklin menyampaikan pesan damai melalui dongeng tidak selalu berjalan dengan mulus. Eklin bahkan mendapatkan penolakan di destinasi pertama penyelenggaraan program Dongeng Damai di Desa Sepa pedalaman Pulau Seram. Penolakan ini ia dapatkan dari Suku Nuaulu.
Penolakan ini terjadi karena profesi Eklin sebagai pendeta menjadi media kristenisasi di wilayah tersebut. Namun Eklin tidak menyerah. Ia akhirnya berusaha menerima dan memutuskan pindah ke wilayah suku lain di hari berikutnya. Saat itu ia masih membawa tujuan yang sama yakni pesan perdamaian dan toleransi tanpa memandang suku ataupun agama melalui dongeng.
Dalam menyampaikan pesan damai ini Eklin tidak sendirian, ia dibantu oleh tim relawan Jalan Merawat Perdamaian (JMP) untuk memperlancar misi pesan perdamaian. Ketika menyampaikan pesan damai, Eklin juga ditemani oleh Dodi, boneka dengan fisik seperti anak laki-laki berambut hitam.
Eklin dan Apresiasi SATU Indonesia Awards
Atas komitme Eklin untuk merawat perdamaian melalui dongeng, pemuda asli Maluku ini mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun 2020. Eklin Amtor de Fretes menjadi salah satu penerima untuk kategori pendidikan dengan nama program Pendongeng Kreatif untuk Anak Maluku.
"Menjadi media pendidikan nggak harus melulu dengan kegiatan formal. Bisa melalui dongeng kreatif dari keseharian sekaligus merajut perdamaian," ucapnya yang dilansir dari Kumparan.
Hingga saat ini Eklin masih aktif mendongeng, tidak hanya di Maluku, Eklin Amtor de Fretes juga menyebarkan pesan perdamaian ke seluruh Indonesia.
Get notifications from this blog